Sepenggal Cerita Tentang Corona

KISAH SEMBUH INI AKU TULIS KETIKA MASIH SAKIT

( Sebuah kesaksian terbebas dari infeksi covid -19 )

 

Banyak teman - temanku yang bilang : “Bowo itu, dalam keseharian  sangat disiplin menerapkan protokol kesehatan, masih kena covid juga”. Saya tidak tau apakah itu kesaksian yang tulus, atau hanya sekedar ungkapan untuk menenangkan saya, yang sedang koleps karena terinfeksi covid-19.

Apapun kata orang dan seberapa keras upaya saya selama ini saya menjaga diri, agar terhindar dari virus corona, tapi faktanya saya terinfeksi. Dan sampai saat ini, dari mana dan kapan kira-kira saya terpapar? Saya renung-renung dan coba ingat-ingat, sampai saat ini masih belum ketemu juga.

Pertanyaan standardnya:  “Pak Bowo habis perjalanan luar kota kemana?”, “Terima tamu luar kota siapa saja dan dari mana saja?. Kalau ditarik mundur dari saat gejala awal dengan masa inkubasi, saya tidak ada perjalanan luar kota. Kemudian kalau harus menerima tamupun (karena pekerjaan) sudah dengan protokol kesehatan yang ketat. Jujur, karena pekerjaan, mobilitas saya memang relatif tinggi. Pun demikian juga sudah dengan kehati-hatian yang sedemikian rupa. Sungguh ini bukan sebuah apologi terhadap diri saya. Tapi hanya sebuah upaya untuk menggugah sebuah permenungan, sudah berupaya sedemikian rupa saja, masih tertapar dan kemudian terinfeksi.

Teman saya menganalogikan: “ Pak Bowo itu ibarat orang berkendara di jalan raya, sudah hati-hati, tapi masih di atau tertabrak pengendara lain”. Dan bagi sahabat diluar sana yang sampai saat ini masih abai dengan protokol kesehatan, terlebih yang sampai detik ini masih belum percaya akan keberadaan virus corona, saya mengalami terinfeksi dan sangat membahayakan jiwa. Belum dari sisi sosial, psikologis dan ekonomi menjadi sangat rumit.

 

Peka Dengan Tubuh Sendiri

Saat ini ada begitu banyak forum dan media yang berupaya untuk menginformasikan kepada khalayak, hal ihkwal virus corona dari berbagai narasumber, dari A sampai Z, termasuk gejala-gejala orang yang terinfeksi covid-19. Berkait dengan gejala, sebagaimana kita tau,memang ada yang tanpa gejala, ada yang bergejala ringan dan ada pula yang bergejala berat. Terkait dengan yang bergejala, sejumlah sumber menuturkan bahwa orang terpapar virus corona memiliki gejala umum a, b, c dan seterusnya. Informsi tentang gejala itu melekat menjadi pengetahuan yang ”merumus”. Jika a, b, c itu terpapar virus corona. Jika tidak a, b, c tidak terinfeksi covid-19. Sehingga ada yang sebenarnya terinfeksi, tapi karena tidak merasakan gejala a, b dan c, merasa dirinya tidak terinfeksi. Dengan demikian dipastikan antisipasi bisa terlambat dan berakibat fatal, baik dari sisi kesehatan person per person maupun kesehatan masyarakat.

Berdasarkan pengalaman, sharing dengan sesama penderita serta diskusi kecil dengan praktisi medis yang punya pengalaman merawat penderita covid-19, bahwa antara penderita yang satu dan yang lainnya, memiliki dan merasakan gejala yang berbeda-beda, atau tepatnya tidak selalu sama. Bisa jadi hal ini karena setiap orang memiliki kondisi dan daya tahan serta kelemahan masing-masing dalam tubuhnya. Dalam situasi yang masih sangat dinamis ini, berkait dengan gejala, rujukan yang paling valid, adalah kepekaan terhadap tubuh sendiri.  Artinnya ketika ada gejala “aneh” dalam tubuh kita, pada situasi semacam ini, sebaiknya langsung mencari rujukan “teknis medis” terkait dengan covid-19, untuk berupaya mendeteksi secara awal. Sehingga antara iya dan tidak segera diketahui secara dini. Katakanlah iyapun segera ada “treatment” yang tepat. Sekali lagi, karena ternyata, antara penderita yang satu dengan yang lainnya memiliki gejala yang tidak selalu sama. Kemudian berkait dengan orang-orang yang memiliki keterbatasan, sepertihalnya anak-anak, jompo dan sebagainya, peran orang-orang terdekatnya menjadi sangat menentukan, untuk membantu mengguide pada situasi-situasi tertentu.

 

Aku Bodoh

Bangun pagi hari Kamis tanggal 12 November 2020, badanku terasa”aneh”. Lungkrah, tulang-tulang dan persendian terasa tidak nyaman (sakit) semua. Peristilahan yang lazim tidak enak badan.

Hari itu walau agak terlambat, saya masuk kerja biasa, tapi tidak bisa sampai jam pulang, karena badan sungguh-sungguh tidak bisa diajak kompromi. Hari berikutnya Jum’at tanggal 13 November 2020, badan terasa bersahabat (walau tidak Fit), saya masuk kerja biasa. Tapi entah kenapa hari itu sepanjang waktu kerja, saya memutuskan untuk tidak keluar dari ruang kerja. Kebetulan saya menempati satu ruang sendirian. Hari Sabtu tanggal 14 November 2020 sepanjang hari aku berbaring, karena kembali tidak enak badan. Bahkan malamnya tidak sekejappun saya bisa memejamkan mata. Hari Minggu tanggal 15 November 2020 saya pergi ke salah sebuah rumah sakit langganan untuk periksa dokter. Diperiksa, tensi saya tinggi sekali 180/115. Ini yang membuat saya tidak bisa tidur, pikir saya. Dikasih obat penurun tensi dan sejumlah obat yang lain. Hari Senin dan Selasa tanggal 16 dan 17 November 2020 saya istirahat dirumah, dengan mengambil kamar terpisah dari yang lain.

Hari Rabu tanggal 18 November 2020 saya masuk kerja, tapi hanya setengah hari dan juga hampir tidak keluar ruangan. Hari Rabu itu, sesampai dirumah, badan terasa semakin tidak karuh-karuhan ditambah sama sekali tidak ada selera makan. Padahal dalam keseharian di mulut saya, makanan hanya terasa enak atau enak sekali. Tapi pada saat itu, mulut kemasukan makanan seperti tertusuk-tusuk jarum. Bau bumbu masakan menjadi siksaan luar biasa.

Pada Hari Rabu Sore itu, badan saya mulai demam dan batuk. Kemudian saya memutuskan ke rumah sakit lagi untuk periksa. Saya minta cek laborat (tapi belum kepikiran rapid test, dan disinilah rupanya letak kebodohan saya). Hasilnya semua baik. Bahkan trigliserida saya yang biasanya relatif tinggi, saat itu diangka normal.  Saturasi oksigen saat itu juga (masih) normal.  

Dokter menambah beberapa obat seperti obat batuk dan penurun panas serta beberapa vitamin. Saya masih sangat optimis dengan obat tambahan, kondisi akan menjadi baik kembali.

Tapi apa yang terjadi, kondisi semakin tidak nyaman. Menurunnya nafsu makan mencapai titik nadir. Praktis saya hanya kemasukan air minum dan sedkit sekali buah. Sepanjang hari dan malam tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Intensitas batuk semakin tinggi. Suhu tubuh stabil diseputar angka 38. Pergerakan semakin terbatas, karena bergerak sedikit saja, langsung batuk hebat.

 

Ternyata Reaktif

Karena kondisi tidak semakin membaik hari Jumat siang tanggal 20 November 2020, memutuskan untuk ke rumah sakit lagi. Masih di rumah sakit yang sama. Periksa kali ini ketemu dokter yang berbeda dari periksa sebelumya. Melihat hasil laboratorium, sekalipun deviasi angkanya tidak (belum) terlalu signifikan, ada kecurigaan ketidakberesan diparu-paru saya. Kemudian untuk memastikan semuanya, saya rapid test anti body dan ternyata hasilnya reaktif.

Karena rumah sakit yang saya datangi ini bukan rumah sakit rujukan covid, dokter mengadvis banyak hal, langkah yang harus saya tempuh.

Setelah menarik nafas sejenak, saya berusaha mengontak beberapa sahabat dan personal satgas penanganan covid-19, di tempat saya tinggal. “Pak Bowo tetap tenang, istirahat di rumah sambil kita tata penanganan berikutnya” begitu kata beberapa teman yang duduk di satgas. Malam itu juga, saya menerima jadwal bahwa pagi harinya, Sabtu, tanggal 21 November 2020 swab PCR di Puskesmas terdekat. Sesudah swab saya diadvis dokter untuk isolasi di rumah sambil melanjutkan obat yang saya dapatkan sebelumya.

 

Akhirnya Isolasi Di Rumah Sakit

Obat saya minum secara disiplin, tapi kondisi tidak semakin membaik. Yang terjadi malah sebaliknya. Suhu tubuh masih fluktuatif pada kisaran 38, batuk semakin menjadi-jadi, dan karena hampir tidak ada asupan nutrisi sama sekali, membuat kondisi tubuh semakin melemah. Sambil memantau peluang isolasi di rumah sakit, karena konon semua rumah sakit rujukan covid penuh, pada Hari Minggu tanggal 22 November 2020, saya dibantu saudara, memasang infus sambil menambah dan mengganti beberapa obat. Pun begitu kondisi tidak semakin membaik. Malah pada Hari senin malam tanggal 23 November 2020, ada tanda-tanda sedikit berat dipernafasan saya, dan belakangan diketahui saturasi oksigen menunjukkan angka dibawah normal.

Hari Selasa, tanggal 24 November 2020, karena kondisi semakin drop, tidak peduli apakah ada ruang apa tidak di rumah sakit, dengan dibantu keluarga, teman serta saudara, saya dilarikan ke salah satu rumah sakit swasta di Kota Jogja, dan langsung masuk IGD. Saya tiba dirumah sakit pukul 11.00 WIB. Setelah mengonfirmasikan sejumlah dokumen laboratorium dan riwayat perawatan dari rumah sakit sebelumya, saya langsung dimasukkan diruang isolasi IGD.

Dengan cepat dan penuh kasih dokter serta para perawat, melakukan tindakan pertolongan seperti pemasangan oksigen, infus, pengambilan sampel darah, rekam jantung dan foto rontgen serta sejumlah tindakan lain. Setelah data medis terkumpul, disimpulkan saya harus dirawat di rumah sakit.

Persoalan kecil muncul, karena ruangan/bed rawat inap, baru bisa ditempati sore atau bisa jadi malah malam harinya. Praktis saya sepanjang siang hingga sore diruang isolasi IGD. Tapi tidak apa-apa, karena setelah mendapatkan pertolongan dengan sejumlah treatment kedaruratan, saya sedikit merasa nyaman dan ayem. Pukul 19.30 saya dipindahkan ke bangsal isolasi bagi sahabat - sahabat yang terinfeksi virus corona. Resmi saya menjalani isolasi di rumah sakit, menjadi pasien penderita infeksi virus corona.

Semula hanya saya baca dari berbagai media tentang apa, mengapa dan bagaimana menjalani isolasi di rumah sakit karena terpapar virus corona, kini nyata saya mengalami sendiri.

Pada awalnya saya membayangkan saja takut, tapi saat ini saya berada tengah-tengah pusaran rasa takut itu. Nyebur, berkubang dan bergulat dengan sumber rasa takut itu.

Akan tetapi yang mengherankan, justru hilanglah rasa takut yang semula menyelimutiku. Yang ada tinggal pikiran sembuh. Terlebih ditolong, dilayani dengan penuh perhatian dan kasih, oleh dokter serta para sahabat perawat. Dengan SOP sangat yang ketat, tanpa ragu-ragu menyapa, menyentuh dan bila perlu memegang saya. Entah dalam kerangka memasukkan obat, memasang atau membetulkan jarum infus, injeksi, ukur tensi, saturasi hingga membantu bersih diri.

Perlu diketahui karena sesuatu hal (diurai dibelakang) selama 2/3 masa isolasi di rumah sakit, saya tidak didampingi keluarga. Betul-betul sendiri dalam arti yang sebenarnya. Tetapi sekali lagi… terimakasih… saya ditemani oleh tim medis yang luar biasa di rumah sakit. Hal ini yang menjadi salah satu faktor, bahwa dibenak saya tidak ada pikiran lain, kecuali sembuh. Dan pada saat itu pula, ketika sebenarnya secara fisik masih sakit dan sangat lemah, saya mulai merenda kisah sembuh ini.

Optimisme itu aku wujudkan dengan kepatuhan 100% pada protokol pengobatan yang ditentukan dan terapkan kepadaku oleh Tim Medis rumah sakit. Mulai dari intervensi obat, vitamin (baik oral, melalui slang infus maupun injeksi langsung dibeberapa bagian tubuh) hingga beberapa saran terapi. Masih ditambah pengambilan sample darah maupun cairan tertentu untuk keperluan pemantauan progres kesehatan. Semua aku taati sepenuh hati. Walau pada beberapa tahapan tertentu diselingi sedikit diskusi dengan sahabat-sahabat paramedis sembari proses treatmen. Kalau boleh saya ungkapkan secara jujur, sungguh sebuah proses yang sakit, melelahkan serta menegangkan.

Belum lagi hingga tulisan ini beredar, saya masih harus melanjutkan tahapan terapi dan pengobatan, berkait dengan beberapa organ yang terimbas serangan virus corona.

Berkait dengan proses treatmen ini, pada saat-saat tertentu ketika berjumpa dengan saudara, sahabat dan siapapun, selalu saya ceritakan betapa proses ini sungguh sakit dan sangat melelahkan. Belum persoalan tekanan sosial yang luar biasa. Sehingga selalu saya katakan : “cukup saya saja yang mengalami. Teman-teman jangan sampai merasakan. Maka selalu waspada, ekstra hati-hati dan selalu patuhi protokol kesehatan”.

 

Tracing Yang Menegangkan

Untuk melokalisir kasus, ketika ada kasus positif seperti saya, kemudian secara cepat dilakukan tracing untuk mendetek kontak erat dengan penderita. Hasil penelusuran ada 34 kontak erat dengan saya, kala saya diduga mulai terpapar. Dua puluh satu teman di kantor dan 13 dari keluarga. Mereka semua orang - orang dekat, baik dalam ring keluarga maupun sahabat kerja sehari-hari. Menyusul kemudian ring dua sebanyak 6 orang. Terdiri dari kedua orang tua, mertua ditambah anak dan cucu yang harus swab ulang.

Jujur ada kegelisahan dan ketegangan tersendiri menunggu hasil swab orang-orang ini. Ada bayangan muncul dipikiranku, bagaimana kalau orang-orang itu terinfeksi. Saya membayangkan betapa jika orang-orang itu harus menjalani proses penyembuhan seperti yang saya jalani, yang begitu sakit dan melelahkan. Dan saya pula yang menjadi faktor penularnya. Ada keluarga, ada sahabat, ada teman kerja. Sungguh ini menjadi beban tersendiri.  Dalam pikiran berkelebatan, karena jika positif, ada potensi “beranak pinak”. Jujur ada perasaan bersalah dalam diri saya. Sungguh ini agak mengganggu proses penyembuhan yang sedang saya jalani.

Walaupun pada akhirnya menjadi lega, ketika satu per satu hasil swab kontak erat keluar dan terkonfirmasi negatif covid. Dan senang pula ketika mendengar kabar saudara dan teman-teman mulai beraktivitas normal kembali, sekalipun saya masih menjalani isolasi di rumah sakit.

 

Anak Menyusul Ke Rumah Sakit, Istri Isoman, Cucu mengungsi

Ketika rapid testku reaktif, pikiranku langsung tertuju ke Istri, Anakku yang paling besar serta menantu. Karena mereka bertigalah yang “mengelola” saya, selama saya sakit dirumah, mengantar ke rumah sakit dan sebagainya.  Memang sudah dengan segenap kehati-hatian. Tapi bagaimanapun resiko itu ada. Dan benar, resiko itu sungguh-sungguh datang. Istri terpapar, anak yang paling besar juga positif. Bahkan karena ada gejala cukup serius, anak terpaksa dikirim ke rumah sakit juga. Jadilah bapak anak isolasi serumah sakit hanya beda bangsal saja. Sementara Istri isolasi mandiri di rumah, karena bergejala ringan.

Kondisi semacam itu, serta merta mengharuskan ada tindakan “pengamanan” penghuni rumah yang lain. Akhirnya cucu dan anak yang lain mengungsi. Ya mengungsi dalam arti yang sebenarnya, untuk mencari tempat aman dari kemungkinan tertular virus. Jadilah anak dan cucu mengungsi ke rumah mertua.

 

Ditengah Berjuta Kebaikan, Stigma Itu Benar Adanya

Aku tinggal di Dusun Plono Barat, Desa Pagerharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Sebuah desa pegunungan yang jauh dari keramaian. Suasana batin dan praktik kegotongroyongan masih terbilang kental. Ketika ada saudara atau warga yang sedang punya kerepotan dalam hidupnya, seolah menjadi tanggung jawab bersama. Dalam kerangka kebersamaan, siapa melakukan apa, dilakukan kapan dan dimana, hanya butuh sedikit sentuhan, semua akan berjalan mekanis. Masing-masing akan menempatkan diri sesuai dengan kemampuan dan talenta masing-masing.

Saya sangat memahami, ketika diketahui saya positif covid, kemudian disusul anak dan istri juga terinveksi, saudara-saudara saya dan warga sekitar, ada sedikit ketegangan dan syok. Karena disekitar tempat saya tinggal, saat saya terkonfirmasi positif, covid-19 hanya ada ditelevisi dan media sosial serta radio. Kalau toh ada kasus positif covid, berada pada radius hitungan kilometer banyak. Jadi bagi sebagian besar dari mereka, covid itu hanya diangan-angan.  

Sekarang kasus posistif covid itu berada ditengah-tengah mereka. Dari rumah sakit tempat saya dirawat, dari berbagai komunikasi, aku bisa mengetahui dan merasakan betapa ketegangan dan kebingungan masyarakat sekitar itu ada. Namun demikian, sekali lagi saya bisa memahami. Dan itupun hanya berjalan “sekejap”. Sebentar kemudian, muncul sikap “generiknya”, saling bantu dan saling meringankan.

Sebagaimana sudah saya kisahkan di atas, karena saya berdua dengan anak dirawat di rumah sakit, istri isolasi mandiri di rumah, sementara anak saya yang lain serta cucu dipengungsian, praktis keluarga saya “lumpuh”. Dan tentu ini menjadi pengalaman batin tersendiri bagi seluruh anggota keluarga saya. Saya tidak bisa membayangkan, jika saat itu saya tidak disengkuyung oleh masyarakat serta saudara dan sahabat saya, pasti kami ada pada kesulitan yang luar biasa.

Tetapi beruntung saat itu juga, tetangga, saudara, teman dan sahabat mangalirkan atensi dan bantuan yang luar biasa. Begitu juga ditempat anak dan cucu mengungsi. Mulai bantuan logistik, akses komunikasi, transportasi, obat obatan, sanitasi dan lain-lain. Hampir setiap pagi kami menerima pesan via alat bantu komunikasi, yang berisi pertanyaan empatif : “ Butuh bantuan apa ?”. “Hari ini mau makan apa ?”. “Itunya masih apa tidak ?”. “Kondisinya bagaimana ?”. “Sudah membaik ta ?”. Dan masih banyak lagi pernyataan dukungan, harapan dan doa semoga lekas sembuh. Semua ini, sungguh-sungguh merupakan sebuah dukungan dan energi positif tersendiri yang tak ternilai harganya bagi kami. Terhadap semua kebaikan itu, saya tidak tau bagaimana cara “mengembalikannya”, kecuali hanya bisa berucap terimakasih. Semoga semuanya menjadi energi baik dalam kehidupan kita semua.

 

Tiada gading yang tak retak. Demikian bunyi pepatah kuno itu, untuk menggambarkan ketidak sempurnaan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Diantara sekian banyak kisah kebaikan tersebut di atas, ada pula satu dua (untuk tidak mengatakan banyak) cerita stigma negatif dari sebagian masyarakat terhadap penderita infeksi akibat terpapar virus corona, seperti kami ini. Bahkan tidak hanya kepada penderitanya, tapi juga bagi keluarga dan orang-orang dekatnya.

Walaupun masih harus dipelajari lebih jauh sebab musababnya. Bisa jadi karena belum lengkap informasi yang dimiliki, terkait dengan hal ikwal corona. Perasaan takut yang berlebihan. Atau bisa jadi memang karena karakter kepribadian. Ada begitu banyak kemungkinan.

Tetapi benar adanya bahwa sampai saat ini, stigma negatif oleh sebagian warga masyarakat, terhadap penderita covid itu terjadi. Setidaknya itu yang kami alami. Mulai yang ringan-ringan, hingga sampai hal-hal yang keterlaluan.

Misalnya diujar : “ Mestinya kan jadi contoh, malah kena covid”. Seolah terpapar covid itu sesuatu yang aib dan perbuatan buruk, yang disengaja. Kemudian banyak warga yang menghindar melewati jalan dekat rumah kami. Ada pula yang kebetulan masuk ring satu dalam tracing dengan hasil swab negatif covid, tetap tidak boleh keluar rumah pada kurun waktu tertentu. Bahkan ada yang masuk ring duapun tidak, tapi karena terkait hubungan kerja dengan kami, ditolak masuk dalam sebuah pertemuan yang seharusnya dia ikuti. Kemudian belakangan sudah sembuh, virus clear dan isolasi selesaipun, masih ada sebagian sahabat yang menghindar ketika bertemu kami.

Itu fakta sosial kecil yang saya alami, yang memang tidak bisa digeneralisir untuk semua penderita di semua tempat. Akan tetapi fenomena semacam itu menjadi siksaan tersendiri bagi penderita infeksi covid – 19. Sehingga layak mendapatkan penanganan serius seiring dengan penanganan pada sisi medis, ekonomi, logistik bansos dan lain-lain.

 

Akhirnya Sembuh

Setelah melalui proses yang menegangkan, jalan berliku dan segenap dinamika, akhirnya saya diberi kemurahan Tuhan, dikarunia “kehidupan kedua”, sembuh dari infeksi covid-19. Tidak ada ungkapan lain kecuali bersyukur dan berterimakasih atas kemurahan Tuhan. Bukan bermaksud untuk mendramatisir, tapi dikala pada puncak derita rasa sakit, sepertinya segala sesuatunya sudah sampai pada batas akhir. Saya tidak tau, apakah itu sebuah imajinasi liar dibawah “tekanan” virus yang luar biasa atau puncak dari rasa takut. Dan saya juga tidak tau apakah itu wajar atau tidak. Tapi itu yang saya alami dan saya rasakan.

Walaupun kemudian yang terjadi, kulminasi dari rasa itu, menjadi titik balik sebuah optimisme “SAYA  HARUS SEMBUH”. Optimisme itu bukan sebuah arogansi di hadapan Sang Penguasa Kehidupan. Karena optimisme itu muncul dibalik ketertundukan dan sikap berserah kepada Hyang Maha Agung, setelah dijembatani sebuah kesadaran terhadap sebuah penegasan ulang, entah yang keberapa juta kalinya, bahwa sejatinya manusia itu sangat lemah dihadapan alam (baca juga : Tuhan) ini.

Akhirnya aku masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan kembali peziarahan hidup ini, guna melengkapi bekal menuju tanah yang dijanjikan kelak, pada saat Tuhan mewujudkan kasihNya kepada umat ciptaanya.

Terima kasih Tuhan, terima kasih para dokter, para medis, rohaniwan, sanak saudara, teman dan sahabat kehidupan semua, yang telah dengan penuh kasih mendampingi saya dan kami sekeluarga, dikala menjalani isolasi dan pengobatan baik di rumah maupun di rumah sakit.

Dan diakhir kalimat dari kisah sembuh ini, rupanya saya juga harus berterimakasih kepada virus corona. Karena belakangan, bagi saya, virus corona bermetamorfosa menjadi guru kehidupan yang luar biasa.

Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin tunduk kepada Hyang Maha Agung. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin bisa menerima kenyataan hidup. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin mencintai keluarga. Guru yang mengajarkan bagaimana saya harus semakin baik dengan siapapun dan masih banyak lagi pada sisi sisi kehidupan yang lain.

 

Oleh L. Bowo Pristiyanto

Penyintas Covid-19 yang tinggal di Perbukitan Menoreh